Senin, 04 Januari 2016
Pendidikan Pedalaman Papua yang Tak “Seindah” Alamnya
Pendidikan Pedalaman Papua yang Tak “Seindah” Alamnya Pada tulisan yang kedua ini, saya mencoba mengangkat kondisi pendidikan daerah pedalaman mutiara hitam. tulisan ini saya kutip berdasarkan data yang di upload oleh CHELLUZ PAHUN, salah satu d’Traveler www.detik.com pada Sabtu, 05 Oktober 2013. Tetapi sebelumnya kita simak pengertian pendidikan berikut. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa aliran pendidikan, secara umum pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. (Soekidjo Notoatmodjo. 2003 : 16) . Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakanmanusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002 : 263) . Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1). Dari pengertian di atas, dapat dirangkum bahwa pendidikan merupakan usaha sadar individu atau kelompok dalam memperoleh ilmu untuk mengembangkan potensi diri yang memiliki pengetahuan, hubungan social dan keterampilan dalam diri, bangsa dan Negara. Dan inilah article yang ditulis oleh Chelluz Pahun. Hijaunya alam dan kepulauan di Papua Barat pasti membuat para wisatawan terkagum-kagum. Tapi lebih dari itu, rupanya pendidikan di sana masih berbanding 180 derajat dengan pendidikan di kota-kota lainnya, sedih, miris dan prihatin. Pendidikan bermutu semakin jauh dari kelompok miskin, situasi inilah sedang dialami oleh warga pedalaman Papua Barat. Mereka masih sulit mengakses pendidikan. Sejak pendidikan menjadi komoditi yang diperdagangkan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari lembaga social menjadi lembaga komersial, pendidikan yang bermutu semakin jauh dari jangkauankelompok miskin. Kian mahalnya pendidikan membuat keluarga miskin seringkali harus menyerah meski anak-anak mereka berprestasi. Bahkan sekedar bermimpi dapat menyekolahkan anak setingkat SMA saja mereka tak berani lagi. Ketika saya mengunjungi kampung-kampung di kabupaten Maybrat, Papua Barat, menyaksikan sendiri bagaimana kondisi sekolah dasar diasan. Tampak, pemandangan dari kondisi sekolah SD di sana adalah fenomena bahwa sekolah mereka ditelantarkan.
Memang di negeri tengah berlangsunf proses kemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu meskipun miskin, orang tua dan anak dari keluarga miskin masih berani bermimpi. Sebab dulu masih terbuka peluang bagi anak-anak miskin untuk mewujudkan mimpi mereka. Tidak heran kalau dulu banyak anak dari keluarga miskin berhasil meraih pendidikan tinggi. Tapi, sekarang sekedar bermimpi bias` menyekolahkan anak sampai SMA mereka sudah tidak berani. Realitas di sekeliling mereka mengajarkan anak-anak miskin yang nekat menerobos masuk ke jenjang SMA berakhir dengan putus sekolah. Kabupaten Maybrat terletak di bagian selatan Kota Sorong, butuh 5-10 jam perjalanan ke wilayah tersebut. Kabupaten ini merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong-Selatan. Fasilitas public sangat terbatas seperti transportasi, listrik, fasilitas kesehatan dan pendidikan. Bahkan di beberapa tempat tidak tersedia signal handphone. Ironisnya Kabupaten Maybrat memiliki kekayaan alam yang luar biasa namun semuanya dikuasai oleh korporasi. Terbukti ketika Chelluz Pahun mengunjungi beberapa sekolah di beberapa kampung, dia melihat kondisi sekolah di daerah tersebut sangat memewprihatinkan. Berikut adalah gambaran kondisi sekolah dasar di kabupaten Maybrat. SD di Kampung Seiya Sekolah dasar di kampung ini sudah berjalan sejak 1995, bersamaan dengan berdirinya kampung Seiya. SD yang dibangun oleh Belanda ini biaya operasionalnya dulu juga disubsidi oleh Belanda. Sekolah ini menjadi satu-satunya SD bagi lebih dari 134 KK dan 459 warga kampung Seiya. Warga kampung ini mengaku , SD kampung mereka sudah mencetak banyak lulusan yang menjadi sarjana. Sayangnya kualitas pendidikan SD ini semakin lama semakin merosot, justru setelah dalam pengelolaan pemerintah RI. Sejak tahun 2001 proses belajar mengajar di sekolah ini tersendat. Bahkan dari 2005 sampai 2010 proses belajar mengajar praktis terhenti karena tidak ada guru. Hanya ada kepala sekolah yang merangkap sebagai guru. Guru yang hanya satu ini pun sudah lama tidak hadir. Proses KBM terhenti dan siswanya terlantar. Setiap 30 anak yang tengah menempuh pendidikan di SD akhirnya putus sekolah. Hanya 3 anak di kelas 6 yang terus bersekolah karena orang tua memindahkan mereka ke SD kampung lain. Kondisi ini membuat kepala kampung mendatangi bupati, dinas pendidikan dan uskup ( kepala gereja setempat ). Pada tahun 2010, proses KBM di SD ini mulai berjalan kembali setelah seorang pastur sukarela menjadi kepala sekolah.
Kemudian mengajar di sekolah bersama seorang guru honorer. Namun gaji honorer ini pun tersendat. 6 bulan berturut-turut guru honorer ini megajar tanpa di gaji. Daan demi menjaga kelancaran proses KBM, masyarakat sekitar akhirnya bergotong royong mengumpulkan uang untuk membayar gaji guru honorer tersebut. Selain itu, masalah lain yang dihadapi sekolah ini adalah ruang kelas dan buku. Rombongan belajarnya ada 6 ruang. Tetapi ruang kelasnya hanya ada 3. Jadi satu kelas dipakai untuk 2 rombongan belajar. Kantor guru pun tidak ada bahkan buku paket siswa dan pegangan guru pun tidak ada. Ini menandakan bahwa, pemerintah setempat tidak begitu perduli pada pendidikan di kampung ini. SD di Kampung Sun Tahun 1999-2000, Kampung Sun mulai ada dan sejak saat itu pula berdiri sekolah dasar darurat yang dibuat warga dari bilik bamboo. Meskipun sudah di bangun sejak tahun 2000, namun proses belajar mengajar baru berjalan tahun 2001. Pada saat itu, hanya ada satu guru yang mengabdikan dirinya untuk mengajar, tetapi guru ini dipindahkan. Kemudian di tahun 2002-2008 pendidikan tersendat dan akhirnya berhenti karena tidak ada guru. Masyarakat kemudian melaporkan keadaan sekolah ke dinas pendidikan Sorong-Selatan. Pada tahun 2007 masyarakat berswadaya untuk membangun ruang kelas, mengganti bilik bambu menjadi bangunan permanen. Kemudian pada tahun selanjutnya bangunan sekolah ini dapat diselesaikan. Setelah bangunan sekolah ini permanen dan ada ruang kelasnya, masyarakat setempat kembali menghadap ke dinas pendidikan agar sekolah ini diberi tenaga guru. Permohonan ini dikabulkan oleh dinas pendidikan. Sebelum ada pengajar tetap, para siswa di SD ini diajar oleh seorang warga kampung yang secara sukarela mengajar anak-anak. Tenaga sukarela ini mengajar dari tahun 2007 – 2009. tetapi pengajar sukarela ini di tempatkan ke kecamatan lain setelah diangkat menjadi PNS.SD di kampung ini sebelumnya hanya menyelenggarakan pendidikan sampai kelas 3. Untuk melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi mereka harus pergi ke SD induk yang ada di ibu kota distrik. Namun sejak 2008-2009 SD ini mulai menyelenggarakan pendidikan untuk siswa kelas 4 dan 5. Kelas 6 baru dibuka pada tahun 2010 dan ada 2 guru yang bertugas pada SD disini. Satu guru merangkap sebagai kepala sekolah dan satunya lagi mengajar. Meski sudah ada 2 guru tetap, tetapi proses belajar mengajar belum juga berjalan lancar. kehadiran guru masih menjadi masalah. Warga mengaku dalam satu tahun hanya 3-4 bulan saja guru hadir mengajar. Selebihnya, guru pergi ke kota dan meninggalkan sekolah, entah untuk dinas atau urusan keluarga. Selain kehadiran guru, buku juga jadi masalah. Buku paket untuk murid dan buku pegangan guru sangat tidak memadai. Baik dari segi kurikulum, keutuhan kondisi buku maupun jumlahnya. Meski guru sering tidak hadir dan buku tidak cukup tersedia .Anehnya saat ujian nasional siswa di SD ini lulus 100 %. Padahal anak-anak menghadapi ujian nasional tanpa ada persiapan belajar karena guru tidak ada dan buku juga tidak ada. Guru baru datang beberapa hari menjelang pelaksanaan ujian. Masyarakat dibuat tidak mengerti dengan kelulusan yang 100 % ini. Rendahnya kualitas pendidikan dasar di sini membuat anak-anak dari Kampung Sun yang melanjutkan SMP di Kota Sorong, seringkali merasa minder karena pelajaran mereka tertinggal jauh dari anak-anak kota. Rasa minder ini seringkali juga membuat anak-anak dari kampung ini memutuskan untuk meninggalkan sekolah dan memilih membantu orang tua mereka menggarap lahan atau pergi ke laut. Meski hanya sedikit yang penulis paparkan, namun yang sedikit ini dapat memberikan gambaran tentang kondisi sekolah di pedalaman Papua. Miskinnya perhatian pemerintah terhadap kualitas pendidikan daerah-daerah pedalaman, rmemadai untuk bersaing dengan bangsa lain. Semangat anak-anak untuk belajar dan animo masyarakat terhadap pendidikan seperti bertepuk sebelah tangan dan tidak sebanding dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh si mutiara hitam ini. Kekayaan alam yang melimpah harusnya dapat menghasilkan fasilitas pendidikan yang layak baik dari tenaga pendidik maupun sarana dan prasarana. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kondisi pendidikan dasar bagi anak-anak di daerah pedalaman. Ini adalah tugas bersama. Anak-anak di pedalaman butuh dukungan dan solidaritas kita. Kita bisa berbuat sesuatu bagi mereka. Berbagai kendala dan kekurangan pada daerah pedalaman Papua berbanding 180 derajat pada Kota Sorong. Kenapa dikatakan demikian? Putra daerah pada perkotaan malah sangat kurang meskipun tidak semuanya seperti itu. Semangat akan meraih cita-cita sangat rendah. Buktinya mereka kebanyakan hanya datang ke sekolah mengikuti satu sampai 2 jam mata pelajaran kemudian membolos, atau tidak pernah masuk sekolah alias alpa dalam waktu yang cukup lama. Padahal dari segi tenaga pendidik dan kependidikan sangat memadai dan professional di bidangnya masing-masing, sarana dan prasarana penunjang proses KBM juga sangat lengkap dan menunjang. Keadaan ini sudah di tangani oleh setiap sekolah mulai dari surat panggilan orang tua, guru datang ke rumah, sampai-sampai pihak sekolah dengan berat hati mendaftarkan siswa bersangkutan untuk mengikuti ujian nasional “ hanya untuk siswa tersebut memperoleh ijazah SD untuk bekal masa depan mereka”. Ini merupakan tugas bagi pihak sekolah dan generasi sekarang baik perkotaan maupun daerah pedalaman untuk membangun semangat dalam mencerdaskan putra-putri MUTIARA HITAM. 13863436491892219773 Siti Arfa Pelu, Ambon, 25 September 1986, yang sedang menuntut ilmu pada Universitas Muhammadiyah Sorong, Provinsi Papua Barat. Arfa Siti /peluarfa Pelajar yang menjadikan pengalaman sebagai guru sejati dan terus memperbaiki diri lebih baik
Selengkapnya:
http://www.kompasiana.com/peluarfa/pendidikan-pedalaman-papua-yang-tak-seindah-alamnya_552c232d6ea834b2648b45a9
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar